Rabu, 28 November 2007

" Abu Zayd Ditolak Umat Islam Riau "

"Abu Zayd Ditolak Umat Islam Riau"

Oleh: Adian Husaini
Pada hari Jumat, 23 November 2007, Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia menerima pernyataan sikap dari MUI Riau tentang penyelenggaraan acara Konferensi Tahunan Studi Islam ke-7 (Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII) yang tahun ini diselenggarakan di UIN Riau. Pernyataan ini ditandatangani oleh Ketua MUI Riau H. Ridwan Syarif dan sekretaris Umum H. Fajeriansyah Lc.

Judul pernyataan MUI Riau ialah: "Umat Islam Riau Tolak Kehadiran Nasr Hamid Abu Zayd". MUI Riau mempersoalkan mengapa dalam acara tersebut akan diundang Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, ilmuwan Mesir yang divonis murtad oleh Mahkamah di Mesir karena tulisan-tulisannya dinilai melecehkan Al-Quran.

Pihak penyelenggara ACIS, yaitu Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Depag, jauh-jauh hari memang sudah menjadwalkan bahwa Abu Zayd akan datang pada acara tersebut. Harian Berita Kota (20/11/2007), hal 10, mengutip kantor berita Antara, juga memuat sebuah berita berjudul: "4 Pakar Asing Bahas Islam". Disebutkan dalam berita tersebut, bahwa Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama memastikan empat pakar asing bidang keislaman akan menghadiri pertemuan tahunan masalah keislaman atau Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-7 di Pekanbaru, Riau, 21-24 November 2007.

"Pembicara internasional yang sudah bersedia hadir adalah Mark Woodward dari Arizona State University, Ronald Lukens Bull dari University of North Florida, Peter Suwarno dari Arizona State University, dan Nasr Hamid Abu Zayd dari Leiden University of Netherlands," kata Direktur Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama Abdurrahman Mas'ud di Jakarta, Senin (19/11).

Demikian berita di koran yang terbit di Jakarta tersebut. Acara itu sendiri telah dibuka secara resmi oleh Menteri Agama, H. Maftuh Basuni pada Rabu (21/11/2007) malam di Hotel Sahid Pekan Baru.

Dalam siaran persnya, MUI Riau menyatakan, bahwa Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Mesir yang divonis murtad di negerinya, telah ditolak kehadirannya oleh umat Islam Riau. Penolakan itu dilakukan oleh MUI Riau bersama sejumlah Ormas Islam lainnya. Abu Zayd sendiri akhirnya batal datang ke acara tersebut. Akan tetapi, dalam pidato sambutan pembukaan ACIS VII, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Depag RI, Prof. Dr. Abdurrahman Mas'ud, MA, menjelaskan bahwa Abu Zayd berjanji akan hadir pada acara International Seminar di UNISMA Malang, 26 November 2007.

Karena isinya sangat penting untuk kita cermati, berikut ini kita simak secara lengkap siaran pers MUI Riau tentang Abu Zayd dan penyelenggaran Konferensi Tahunan Studi Islam di Indonesia:

Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh liberal yang pendapat-pendapatnya sangat ekstrim, sehingga dia divonis murtad oleh Mahkamah Mesir. Dia lalu melarikan diri ke Leiden University. Dari sanalah, dengan dukungan negara-negara Barat, dia mulai mendidik beberapa dosen UIN/IAIN. Beberapa muridnya sudah kembali ke Indonesia dan menduduki posisi-posisi penting di UIN/IAIN.

Di Indonesia, para penghujat Al-Quran di kampus-kampus UIN/IAIN hampir selalu menjadikan Abu Zayd sebagai rujukan. Dalam hasil penelitiannya terhadap perkembangan paham-paham keagamaan Liberal di sekitar kampus UIN Yogyakarta, Litbang Departemen Agama menulis:

"Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari." (Lebih lengkap tentang kekeliruan pemikiran Abu Zayd bisa dilihat dalam buku "Al-Qur'an Dihujat", karya Henri Shalahuddin, MA (GIP, Jakarta: Mei 2007).

MUI Riau bersama MUI pusat saat ini telah menghimpun data-data pelecehan dan penghujatan Al-Quran di lingkungan UIN/IAIN. Bahkan, di IAIN Surabaya, gugatan terhadap Al-Quran sebagai Kitab Suci pernah menghebohkan, ketika seorang dosen di sana, secara sengaja menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa Al-Quran bukanlah kitab suci, tetapi merupakan hasil budaya manusia. Kata dosen tersebut: "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput." (Majalah GATRA, 7 Juni 2006).

Karena itulah, MUI Riau sangat berkeberatan dengan kehadiran orang-orang seperti Abu Zayd dan antek-anteknya yang secara jelas-jelas telah begitu melecehkan Kitab Suci Al-Quran. Pola pikir orientalis Yahudi-Kristen sangat mewarnai tulisan-tulisan di berbagai jurnal, tesis, buku, dan artikel-artikel para penghujat Al-Quran tersebut.

Dalam acara ACIS VII ini pun, sekali pun Abu Zayd tidak datang, tetapi buku karya murid keakungannya, yaitu Dr. M. Nur Kholis Setiawan (dosen UIN Yogyakarta, yang disertasinya diterbitkan dengan judul "Al-Quran Kitab Sastra Terbesar") yang berjudul "Orientalisme, Al-Qur'an dan Hadis", telah diproyekkan untuk dibagikan kepada semua peserta ACIS VII. Yang menjadi pertanyaan kemudian, "Apakah relevansinya bagi kemajuan studi Al-Quran di Indonesia sehingga buku Nur Kholish itu dijadikan proyek untuk dimiliki semua peserta?"

Adalah aneh, jika sosok Abu Zayd yang jelas-jelas menghina dan menghujat Al-Quran dan Imam Syafii dalam berbagai karyanya justru dipromosikan pemikirannya oleh Departemen Agama RI. Lebih aneh lagi, pihak panitia ACIS sama sekali tidak menghadirkan pembicara yang mampu mengkritik pemikiran Abu Zayd. Padahal, dalam semboyannya ditulis: "ACIS: Barometer Perkembangan Studi Keislaman di Indonesia".

MUI Riau memandang aneh dengan semboyan ACIS tersebut, mengingat, selain Abu Zayd, pembicara dari luar negeri yang diundang oleh panitia, tidak ada satu pun yang dikenal oleh umat Islam sebagai ulama-ulama terkemuka, tetapi justru para orientalis Barat dan orang non-Muslim. Mereka adalah: Prof. Mark Woodward, Ph.D., Prof. Ron Lukens Bull, Ph.D., dan Prof. Peter Suwarno, Ph.D yang diundang untuk berbicara tentang Islam.

Prof. Peter Suwarno, Ph.D yang saat ini menjabat sebagai associate director of the School of International Letter and Cultures at Arizona State University USA, di awal presentasinya mengatakan bahwa dia bukan ahli agama dan tidak tahu banyak tentang Islam. Dia memang dikenal kedekatannya dengan Prof. Abdurrahman Mas'ud yang sering berkunjung ke Arizona., Peter menamatkan S1-nya di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Para pembicara seperti itukah yang dikatakan akan dijadikan sebagai "BAROMETER STUDI ISLAM DI INDONESIA?"

Disamping itu, diantara tema-tema yang dibincangkan adalah isu utama dalam paham liberalisme di bidang keagamaan, baik yang dipaparkan secara halus maupun kasar. Di antara tema-tema yang disetujui untuk dilombakan dalam debat di acara pekan ilmiah mahasiswa dalam rangkaian kegiatan ACIS VII adalah sebagai berikut:

Formalization of Syariah as the Real Enemy of Democracy (=Formalisasi Syariah sebagai Musuh Nyata Demokrasi)
Ranjau Formalisasi Syariat
Mendamaikan Syariat Islam dengan demokrasi Pancasila
Pancasila dalam kepungan formalisasi Syari'ah Islam.
Menolak Poligami: ditinjau dari berbagai pendekatan
Pembaharuan Hukum Islam dalam konteks keindonesiaan merupakan suatu keharusan
Benarkah poligami sebagai sunah nabi?

Ditilik dari tujuannya, sebenarnya ACIS merupakan acara yang bertujuan mulia. ACIS VII ini mengusung tema utama: "Konstribusi ilmu-ilmu keislaman dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan pada millenium ketiga". Dalam pelaksanaannya, tema utama tersebut dirinci dalam lima bidang yang mencakup: a) Islam, politik dan ekonomi global. b) Islam dan masalah hak asasi manusia (HAM). c) Islam dan masalah pendidikan global. d) Islam dan hegemoni budaya global. e) Islam dan masalah kesehatan, lingkungan, dan perkembangan IPTEK.

Oleh sebab itu, harusnya, pihak Depag dan panitia berembuk dengan ulama-ulama Islam lainnya untuk menyusun acara. Bukan malah menghadirkan para pembicara yang sudah dikenal sebagai tokoh-tokoh Liberal, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.

Sebagai lembaga pemerintah, harusnya Depag berpikir lebih serius dalam mengembangkan studi Islam di Indonesia, demi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia. Dalam hal pengembangan pemikiran liberal, sikap MUI sudah jelas melalui fatwanya no. 7/MUNAS/MUI/II/2005 yang mengharamkan penyebaran paham liberal di Indonesia. Juga, pemikiran yang meragu-ragukan keotentikan Al-Quran, oleh MUI dimasukkan ke dalam salah satu kriteria ajaran/aliran sesat.

Demikianlah pernyataan sikap MUI Riau.

Membaca pernyataan MUI Riau tersebut, kita tentu bertanya-tanya, akan dibawa kemanakah studi Islam di Indonesia? Akan dibawa kemanakah institusi-institusi pendidikan tinggi Islam? Jika ingin meningkatkan studi Islam, mengapa yang diundang orang-orang seperti Nasr Hamid Abu Zayd? Sama dengan MUI Riau, kita juga patut heran, mengapa panitia mengedarkan buku murid keakungan Abu Zayd di Indonesia, yaitu Dr. Nur Kholish Setiawan?

Sekedar mengingatkan kita, bahwa Nur Kholish Setiawan adalah alumnus Bonn University yang memberi kata pengantar untuk buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya, alumnus UIN Yogya yang kini menjadi dosen di STAIN Ponorogo. Di dalam kata pengantarnya untuk buku yang menggugat keotentikan Al-Quran tersebut, Dr. Nur Kholish menulis:
"Buku yang diberi judul "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender" karya Aksin Wijaya yang ada di tangan pembaca ini merupakan model kegelisahan "baru" akan dominasi nalar Arab dalam teks keagamaan, dalam hal ini Al-Quran. Dikatakan "kegelisahan baru" mengingat pikiran-pikiran yang dilontarkan turut "mempermasalahkan" mushaf Utsman yang oleh sebagian besar pengkaji Al-Quran justru tidak lagi dipermasalahkan. Sederet pemikir kontemporer seperti Amin al-Khuli, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Nasr Abu Zayd, Abdul Karim Shooush, dan Muhammad Syahrur, misalnya, degan seabrek tawaran metodologis serta pemikiran kritis lainnya tentang Al-Quran, justru tidak menyinggung mushaf Utsman sebagai korpus yang pantas "digugat", meski sebenarnya mereka menggakui proses kodifikasi masa Utsman tersebut sejatinya bisa menimbulkan pertanyaan."

Dengan tulisan tersebut sebenarnya telah jelas dimana posisi Nur Kholish Setiawan. Kita tentu tidak apriori dengan semua pemikiran yang datangnya dari luar. Hanya saja, sebagaimana MUI Riau, jika yang kita inginkan adalah mengembangkan wacana keislaman yang sehat, mengapa yang diundang adalah pembicara-pembicara dari Barat? Kita berharap, pihak Departemen Agama lebih berhati-hati dalam menyelenggarakan acara penting seperti ini. Departemen Agama harusnya bertugas mengawal dan mengembangkan pendidikan dan pemikiran Islam yang benar. Begitu juga kampus-kampus Islam yang di bawah tanggung jawabnya.

Betapa memilukan, jika Departemen Agama ikut-ikutan mengembangkan dan menyebarkan pemikiran-pemikiran yang menghujat keotentikan Al-Quran. Mudah-mudahan para pejebat Departemen Agama segera menyadari kekeliruan yang mendasar ini. Kita bersyukur dengan langkah-langkah pembenahan haji dan pemberantasan korupsi yang dilakukan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Mudah-mudahan masalah pemikiran Islam ini juga mendapat perhatian serius, sebab hal ini terkait dengan masalah iman, masalah yang paling mendasar dalam Islam, masalah yang jauh lebih penting dibandingkan dengan masalah manajemen haji. Wallahu a'lam.[Depok, 23 November 2007/www.hidayatullah.com]